DAKWAH
DAN TRADISI MASYARAKAT
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al
Islam dan Kemuhammadiyahan
Dosen Pengampu : Agus
Miswanto, M. A
Disusun Oleh :
Atin Fadlil Firdausi Mahmud 16.0401.0016
Ahmad Imadudin Akmal 16.0401.0017
Tia Fakhira Salma 16.0401.0018
Taufiqurrohman 16.0401.0021
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAGELANG
2017
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah islam amar ma’ruf nahi munkar
tentunya ingin merealisasikan cita-cita atau tujuannya, yaitu mewujudkan
masyarakat islam yang sebenar-benarnya. Salah satu objek dakwah Muhammadiyah adalah masyarakat yang masih
menjalankan tradisi-tradisi kemusyrikan yang notabene bisa membatalkan iman
mereka. Muhammadiyah tentunya sudah mempunyai strategi tersendiri untuk
mendakwahi masyarakat yang masih ‘akrab’ dengan tradisi tersebut.
Makalah ini akan sedikit membahas tentang apa itu dakwah, apa saja
macam-macam tradisi masyarakat yang menyimpang atau yang bisa membatalkan iman,
serta bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap tradisi-tradisi pembatal iman
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dakwah?
2.
Apa saja tradisi masyarakat yang menyimpang?
3.
Bagaimana pandangan Muhammadiyah terhadap tradisi tersebut?
BAB II PEMBAHASAN
A. Dakwah
1. Pengertian Dakwah
Secara etimologis, dakwah (دعوة) berasal dari bahasa
Arab (دع - يدعو) yang berarti panggilan, ajakan, (seruan).
Pelaku Dakwah disebut da’i / da’iyah (mufrad) dan du’at (jama’). Huruf “ha”
dalam kata Lisan Al-A’rab mengatakan du’at adalah orang-orang yang mengajak
manusia untuk bersumpah-setia (bai’at) pada petunjuk atau kesesatan. Da’i ila-llah
adalah orang yang mengajak manusia
dengan perkataan dan perbuatannya kepada islam, menerapkan manhajnya,
memeluk aqidahnya serta melaksanakan syari’atnya.
Sedangkan menurut istilah para ahli berbeda-beda dalam memberikan
pengertian tentang dakwah. Ahmad Mubarok mendefinisikan dakwah adalah pekerjaan
mengkomunikasikan pesan Islam kepada manusia. Secara lebih operasional, dakwah
adalah mengajak atau mendorong manusia kepada tujuan yang definitive yang
rumusnya bisa diambil dari Al-Qur’an dan Hadits, atau dirumuskan oleh Da’i,
sesuai ruang lingkup dakwahnya. Dakwah adalah seruan atau ajakan pada
keinsyafan atau usaha mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik
terhadap pribadi maupun masyarakat.
Dakwah juga dipahami setiap kegiatan yang bersifat menyeru,
mengajak, dan memanggil orang untuk beriman, dan taat kepada Allah SWT. Sesuai
dengan garis aqidah, Syariat, dan akhlak Islamiyah. Sementara itu Amien Rais
(1986, 3) mengartikan dakwah dengan aktualisasi salah satu fungsi kodrati
seorang muslim, fungsi kerisalahan, yaitu berupa proses pengkondisian, agar
seseorang atau masyarakat mengetahui, memahami, mengimani, dan mengamalkan
Islam sebagai ajaran dan pandangan hidup. Dengan ungkapan lain, hakikat dakwah
adalah suatu upaya untuk merubah suatu keadaan menjadi keadaan lain.
Pengkondisian dalam kaitan perubahan tersebut berarti upaya menumbuhkan
kesadaran dan kekuatan pada diri objek dakwah. Agar perubahan dapat menumbuhkan
kesadaran dan kekuatan pada diri objek, maka dakwah juga harus mempunyai makna
pemecahan masalah kehidupan, pemenuhan kehidupannya.
Dengan merujuk pengertian tersebut, maka dakwah dapat dipandang
sebagai proses komunikasi dan proses perubahan sosial. Dakwah sebagai proses
komunikasi yaitu kegiatan menyampaikan pesan dari da’i (komunikator) pada objek
dakwah atau (komunikan) melalui media tertentu, agar terjadi perubahan pada
diri objek dakwah. Perubahan dimaksud mencakup perubahan pengetahuan,
pemahaman, keyakinan, tata nilai, pola pikir, sikap, dan tindakan. Dalam
terminologi agama, perubahan tersebut meliputi aqidah, akhlak, ibadah, dan
muamalah. Dakwah juga merupakan suatu proses perubahan sosial, oleh sebab itu
gerakan dakwah tidak hanya sebagai dialog
lisan, melainkan juga dialog lain seperti dialog amal, dialog seni,
dialog filsafati, dan dialog budaya. Sehingga tidak hanya menghasilkan
perubahan berfikir, tetapi juga perubahan pengetahuan, pemahaman, keyakinan,
perilaku, karya, tata nilai, tata hubungan, sosial, seni dan budaya. Disinilah
perlunya memahami psikologi dakwah, media dakwah, strategi, dan metode dakwah. (Agus
Miswanto, 2016)
2. Dasar Hukum Dakwah
Dakwah dan islam tidak dapat dipisahkan yang satu dengan yang lainnya.
Dakwah juga merupakan usaha mengajak dan mempengaruhi manusia agar pindah dari
suatu situasi ke situasi yang lain, yaitu dari situasi yang jauh dari ajaran
Allah menuju situasi yang sesuai dengan petunjuk dan ajaran-Nya. Seperti dalam
firman Allah SWT dalam surah (An-Nahl : 125) yang berbunyi :
اُدْعُ اِلٰـى سَبِيْـــلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَـــةِ الْحَسَنَـةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَـنُ قلى
اِنَّ
رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْـــلِه وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَـــــدِيْنَ
”Serulah (manusia)
kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”(QS An-Nahl:125)
Kata ud’u yang
diterjemahkan dengan seruan dan ajakan adalah fi’il amr yang menurut kaidah
ushul fiqh setiap fi’il amr adalah perintah dan setiap perintah adalah wajib
dan harus dilaksanakan selama tidak ada dalil lain yang memalingkannya dari
kewajiban itu kepada sunnah atau hukum lain. Jadi, melaksanakan dakwah hukumnya
wajib karena tidak ada dalil-dalil lain yang memalingkannya dari kewajiban itu,
dan hal ini disepakati oleh para ulama. Hanya saja terdapat perbedaan pendapat
para ulama tentang status kewajiban itu apakah fardhu ain atau fardhu kifayah.
3. Tujuan Dakwah
Secara umum tujuan dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup manusia di dunia dan diakhirat yang diridhai oleh Allah SWT.
Adapun tujuan dakwah, pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua macam tujuan,
yaitu :
a) Tujuan Umum Dakwah
Tujuan utama dakwah
adalah nilai-nilai atau hasil akhir yang ingin dicapai atau diperoleh oleh
keseluruhan aktivitas dakwah. Untuk tercapainya tujuan utama inilah maka semua
penyusunan rencana dan tindakan dakwah harus mengarah kesana. Sementara itu
menurut anggapan, tujuan dakwah yang utama itu menunjukkan pengertian bahwa
dakwah kepada seluruh umat, baik yang sudah memeluk agama maupun yang masih
dalam keadaan kafir atau musyrik. Arti umat disini adalah pengertian seluruh
alam. Sedangkan yang berkewajiban dakwah kepada seluruh umat adalah Rasulullah
SAW dan utusan-utusan yang lain. Seperti dalam firman Allah SWT dalam surah
Al-Maidah:67 yang artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang tidak diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk bagi orang yang
kafir. (QS. Al-Maidah (5) : 67)
4. Tujuan Khusus Dakwah (Minor Objective)
Tujuan khusus dakwah merupakan perumusan tujuan dan penjabaran dari tujuan
umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan seluruh aktivitas
dakwah dapat jelas diketahui kemana arahnya, ataupun jenis ataupun jenis
kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah, dengan cara apa,
bagaimana, dan sebagainya secara terperinci.
Tujuan khusus dakwah sebagai terjemahan dari tujuan umum dakwah dapat
disebutkan antara lain sebagai berikut:
Ø Mengajak umat manusia
yang telah memeluk agama Islam untuk selalu meningkatkan taqwanya kepada Allah
SWT.
Ø Membina mental agama
(Islam) bagi kaum yang masih muallaf.
Ø Mengajak manusia agar
beriman kepada Allah (memeluk agama Islam)
Ø Mendidik dan mengajar
masyarakat agar tidak menyimpang dari fitrahnya. (Drs. Samsul Munir Amin, 2009)
B. Tradisi
1. Pengertian Tradisi
Tradisi adalah segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari
masa lalu ke masa kini atau sekarang. Tradisi
dalam Arti Sempit adalah warisan-warisan sosial khusus yang memenuhi syarat
saja.
Sejarah Tradisi lahir yaitu melalui dua cara :
Cara pertama, tradisi
muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tidak
diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu
tertentu menemukan warisan historis yang menarik. Perhatian, ketakziman,
kecintaan dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cata,
memengaruhi rakyat banyak. Sikap takzim dan kagum itu berubah menjadi perilaku
dalam bentuk upacara, penelitiaan dan pemugaran peninggalan purbakala serta
menafsir ulang keyakinan lama. Semua perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman
dan tindakan individu menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial
sesungguhnya . Begitulah tradisi dilahirkan. Proses kelahiran tradisi sangat
mirip dengan penyebaran temuan baru, hanya saja dalam kasus tradisi ini lebih
berarti penemuan atau penemuan kembali yang telah ada di masa lalu ketimbang
penciptaan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Cara kedua, tradisi muncul
dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi
dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang
berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi dinastinya kepada
rakyatnya. Diktator menarik perhatian rakyatnya kepada kejayaan bangsanya di
masa lalu. Kemudian militer menciptakan sejarah pertempuran besar kepada
pasukannya. Perancang mode terkenal menemukan inspirasi dari masa lalu dan
mendiktekan gaya “kuno” kepada konsumen.
Dua jalan kelahiran tradisi itu tidak
membedakan kadarnya. Perbedaannya terdapat antara tradisi asli yaitu tradisi
yang sudah ada di masa lalu dan tradisi buatan yaitu murni khayalan atau
pemikiran masa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika orang memahami impian
masa lalu dan mampu menularkan impiannya itu kepada orang banyak. Lebih sering
tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh penguasa untuk mencapai tujuan
politik mereka.
2. Penyebab Perubahan Tradisi
Peyebab
Perubahan Tradisi disebabkan oleh banyaknya tradisi dan bentrokan antara
tradisi yang satu dengan saingannya. Benturan itu dapat terjadi antara tradisi
masyarakat atau antara kultur yang berbeda atau di dalam masyarakat tertentu.
Perubahan
tradisi dari segi kuantitatifnya terlihat dalam jumlah penganut atau
pendukungnya. Rakyat dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang
kemudian memengaruhi seluruh rakyat satu negara atau bahkan dapat mencapai
skala global.
Perubahan
tradisi dari segi
kualitatifnya yaitu perubahan kadar tradisi. Gagasan, simbol dan nilai tertentu
ditambahkan dan yang lainnya dibuang.
3. Fungsi Tradisi
Fungsi tradisi
yaitu sebagai berikut :
a.
berfungsi
sebagai penyedia fragmen warisan historis yang kita pandang bermanfaat. Tradisi
yang seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam
tindakan kini dan untuk membangun masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu.
Contoh : peran yang harus diteladani (misalnya, tradisi kepahlawanan,
kepemimpinan karismatis, orang suci atau nabi).
b.
Tradisi Fungsi
tradisi yaitu untuk memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan,
pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan pembenaran agar
dapat mengikat anggotanya. Contoh : wewenang seorang raja yang disahkan oleh
tradisi dari seluruh dinasti terdahulu.
c.
Tradisi
berfungsi menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat
loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Contoh Tradisi
nasional : dengan lagu, bendera, emblem, mitologi dan ritual umum.
d.
Fungsi Tradisi
ialah untuk membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan
dan kekecewaan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih
bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggalan bila masyarakat berada dalam
kritis. Tradisi kedaulatan dan kemerdekaan di masa lalu membantu suatu bangsa
untuk bertahan hidup ketika berada dalam penjajahan. Tradisi kehilangan
kemerdekaan, cepat atau lambat akan merusak sistem tirani atau kediktatoran
yang tidak berkurang di masa kini.
C. Tradisi Masyarakat yang tidak Menyimpang
Banyak tradisi-tradisi yang dalam pandangan
islam itu tidak dalam kategori syirik atau keluar dari kaidah- kaidah islam,
karena islam memandang akan tradisi tersebut jika di salami memang tidak
menimbulkan persoalan yang signifikan. Karenanya tradisi- tradisi tersebut
tetap dilakukan oleh sebagian masyarakat islam di jawa, karena mereka
menganggap hal itu adalah warisan dari budaya atau sebuah seni yang memang
perlu di lestarikan sebagai ciri khas oleh sebagian orang tersebut. Tradisi tersebut
antara lain :
1.
Bernanji atau
Sholawatan
Menurut sebagian
pendapat memang ada yang mengkategorikan hal itu ke dalam bid’ah atau tidak
dilakukan oleh nabi Muhammad SAW, nsmun hsl itu di lakukan oleh sebagian
masyarakat islam di jawa dan lainya. Karenanya sholawatan adalah sebuah bentuk
kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad atas perjuangan dakwah beliau memajukan
islam seperti saat ini. Syair – syair itu di bacakan dengan aliunan musin
rebana untuk memeriahkan, sejatinya hal itu memang tidak diperintahkan, namun
ada sisi baiknya, karena mereka mentintai nabi besar Muhammad SAW sebagai
rahmatallilalamin atau Rosul terakhir.
2.
Kupatan atau
membuat Kupat
Tradisi ini sering
dilakukan oleh masyarakat menyambut hari raya, seperti hari raya idul fitri
atau idul adha, mereka membuat kupat dan semacamnya untuk menghidangkan suguhan
tatkala saudara yang berkunjung kerumahnya sebari silaturohmi. Setelah selesai
bercanda dan saling cakap, mereka menyantap ketupat yang di balur dengan santan
atau racikan lainya untuk acara makan bersama karena jarang bertemu dan momen
tahunan karena hanya dilakukan etahun dua kali yaitu idul adha dan idul fitri.
D. Tradisi Masyarakat Yang Menyimpang.
Muhammadiyah
sebagai gerakan yang berasaskan dakwah islam amar ma’ruf nahi mungkar tentunya
sangat menentang tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran islam
tersebut. Hal ini tentu menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi islam yang
tidak disukai oleh sebagian besar masyarakat. Bagaimana tidak, hal-hal
(tradisi) yang masih dilakukan masyarakat awam dengan dalih melestarikan
peninggalan nenek moyang tersebut justru
mendapat kecaman dari Muhammadiyah
dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran islam. Ada banyak kebudayaan –
kebudayaan dan tradisi masyarakat Jawa yang dinilai menyimpang dari ajaran
Islam dan Al – Qur’an diantaranya ialah:
a. Ziarah kubur dengan maksud meminta sesuatu
kepada yang diziarahi, tradisi ini masih banyak dilakukan di masyarakat kita.
Mereka biasanya menziarahi makam leluhur mereka lalu meminta keselamatan atau
kelancaran. Banyak juga yang datang ke makam – makam orang yang dinilai sakti
seperti wali, syeh, atau orang pintar untuk meminta rizki, meminta keturunan,
meminta diberi barokah atau keselamatan.
b. Memberi sesajen kepada leluhur dan batu besar
atau pohon besar, kebiasaan ini masih dilakukan pada masyarakat di daerah yang
masih sedikit tertinggal, biasanya mereka memberi sesajen kepada leluhur, pohon
besar, batu besar atau yang lainnya, tujuannya adalah agar mereka diberi
keselamatan, agar tidak diganggu oleh si penunggu atau dengan tujuan lainnya.
c. Mensucikan benda- benda pusaka seperti keris,
dan sebagainya dengan memandikanya dengan tujuh sumber mata air dan di beri
sesajen pada tanggsl satu suro, tujuanya agar makhluk yang mendiami benda
pusaka tersebut tidak marah dan dapat memberikan bantuan yang di inginkan.
Selain beberapa tradisi di atas, masih banyak
lagi kegiatan dan tradisi masyarakat yang dinilai terlalu jauh dari konsep
Islam dan Al – Qur’an yang menekankan keimanan pada satu tuhan, yaitu Allah
SWT, seperti : memberi sesaji pada saat mendirikan tarub atau tenda pengantin,
memberi sesaji untuk upacara memandikan calon pengantin, memberi sesaji untuk
merias pengantin, memberi sesaji pada saat pengantin bersanding, memberi sesaji
sewaktu upacara memandikan wanita hamil (mandi-mandi), memberi sesaji waktu
syukuran kelahiran (pada saat pemberian nama), sesaji untuk memulai pembangunan
rumah, sesaji untuk menempati rumah baru, sesaji untuk memulai mengerjakan
sawah/ladang, sesaji untuk memulai panen, dan memberi sesajen untuk mengusir
syaitan serta jin. (http://dakwahkulturalmjuhammadiyah.blogspot.co.id/2014/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html?m=1)
E. Pandangan Muhamadiyah Terhadap Tradisi Tersebut
Dakwah dalam
tradisi masyarakat harus memahami potensi dan kecenderungan individu sebagai
mahluk budaya berati memahami ide-ide, adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma,
simbol dan hal-hal fisik yang memiliki makna tertentu dan hidup subur dalam
masyarakat.
Dakwah kultural
dalam tradisi masyarakat menekankan pada dinamisasi dan purifikasi, dinamisasi
mencoba menghargai potensi dan kecenderungan individual sebagai mahluk budaya
dalam arti luas, sekaligus melakukan usaha-usaha agar budaya tersebut membawa
kepada kemajuan dan pencerahanpada setiap individu. Sedangkan purifikasi
mencoba untuk menghindari pelestarian budaya yang nyata-nyata dari segi ajaran
islam yang budaya tersebut bersifat syirik, takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Dakwah ini bukan berati melestarikan atau membenarkan, tetapi lebih ke cara
memahami dan menyikapinya dengan menggunakan kacamata atau pendekatan dakwah. (Muhammadiyah, 2004)
Berikut ini
adalah dalil-dalil yang menunjukkan adanya penyimpangan tradisi-tradisi tersebut:
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَأَنَّهُ كَانَ
رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia
meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, Maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS Al-jin:6)
Dan firman
Allah yang lain:
وَجَعَلُواْ لِلّهِ
مِمِّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُواْ هَـذَا لِلّهِ بِزَعْمِهِمْ
وَهَـذَا لِشُرَكَآئِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إِلَى اللّهِ وَمَا
كَانَ لِلّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَآئِهِمْ سَاء مَا يَحْكُمُونَ
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu
bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata
sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan ini untuk
berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi
berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang
diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka.
Amat buruklah ketetapan mereka itu” (QS Al-An’am:136).
Dari
kedua dalil di atas, bisa kita ketahui bahwasanya banyak tradisi yang
menjerumuskan kepada tindak kesyirikan. Hal-hal seperti ziarah kubur dengan
maksud meminta sesuatu kepada yang diziarahi, memberi sesajen kepada pohon,
mencuci keris dengan tujuh sumber mata air, dan sebagainya tersebut bisa
menjadikan pelakunya masuk ke dalam kategori orang-orang yang menduakan Allah
dan tentunya mendapat dosa yang paling besar. Padahal sudah jelas di dalam
kitab suci mereka terdapat firman-firman Allah yang menjelaskan tentang
dilarangnya hal tersebut seperti yang telah disebutkan di atas.
Selama ini, Muhammadiyah menurut masyarakat
adalah sebagai lembaga keagamaan yang gigih memberantas TBC (takhayul,
bid’ah, churofat). Takhayul adalah kepercayaan terhadap sesuatu yang
dianggap ada, padahal sebenarnya tidak
ada. Bid’ah adalah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh-contoh yang
telah ditetapkan, termasuk menambah dan mengurangi ketetapan, tanpa berpedoman
pada Al Qur’an dan Sunah Rasul. Churafat adalah ajaran yang tidak masuk akal.
Dengan
pemberantasan TBC, Muhammadiyah menegaskan tuntunan Islam secara pasti
seperti diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Berawal dari penegasan ini, maka
seluruh amal perbuatan itu dilarang, kecuali yang sesuai diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi menyebutkan, “semua rekaan-rekaan (bid’ah) dalam suatu ibadah adalah
sesat, dan semua yang sesat akan masuk ke neraka”. Artinya, amal-perbuatan
orang Islam hendaknya sesuai dengan anjuran Nabi. Jangan membuat aturan baru
atau menambah hal-hal yang baru, termasuk di antaranya memasukkan TBC dalam
peribadahan agama Islam.
KH Achmad
Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah dalam berbagai pengajian dan syiar dakwahnya
selalu menekankan agar menegakkan agama Islam yang benar, jangan sampai dirusak
oleh TBC meskipun hanya sedikit. Begitulah keyakinan beliau untuk menanamkan jiwa dan amalan agama Islam yang
bersih dan lurus seperti yang ditentukan oleh Al Qur’an dan Sunah Rasul. Dengan
demikian munculnya Muhammadiyah dimaknai sebagai gerakan dakwah yang hendak
berusaha menekankan pengajaran serta pendalaman nilai-nilai Islam sebenarnya.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara
etimologis, dakwah (دعوة) berasal dari bahasa Arab (دع - يدعو) yang berarti panggilan,
ajakan, (seruan). Pelaku Dakwah disebut da’i / da’iyah (mufrad) dan du’at
(jama’). Huruf “ha” dalam kata Lisan Al-A’rab mengatakan du’at adalah
orang-orang yang mengajak manusia untuk bersumpah-setia (bai’at) pada petunjuk
atau kesesatan. Da’i ila-llah adalah orang yang mengajak manusia dengan perkataan dan perbuatannya kepada
islam, menerapkan manhajnya, memeluk aqidahnya serta melaksanakan syari’atnya.
Sedangkan secara istilah, menurut Ahmad Mubarok, dakwah adalah pekerjaan
mengkomunikasikan pesan Islam kepada manusia
Contoh-contoh
tradisi yang menyimpang adalah Ziarah kubur dengan maksud meminta sesuatu kepada
yang diziarahi, Memberi sesajen kepada leluhur dan batu besar atau pohon besar,
Mensucikan benda- benda pusaka seperti keris, dan sebagainya dengan
memandikanya dengan tujuh sumber mata air, dan lain sebagainya.
Menurut Muhammadiyah, tradisi-tradisi yang
masih dilakukan oleh masyarakat tersebut termasuk dalam kategori TBC (tahayul,
bid’ah, Churofat), sehingga harus mendapatkan perhatian lebih dalam hal
pendakwahan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Miswanto, S. M. (2016). Sejarah
Islam dan KEMUHAMMADIYAHAN. Magelang: P3SI UMM.
Drs. Samsul Munir Amin, M. (2009). Ilmu Dakwah. Jakarta: AMZAH.
Muhammadiyah, P. P. (2004). Dakwah Kultural Muhammadiyah.
Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.